PONOROGO, KOMPAS.com — Eko Mulyadi, pemuda berusia 31
tahun ini layak disebut sebagai pejuang tunagrahita. Bagaimana tidak, di
usia yang masih belia itu, ia mampu mengubah kondisi kampungnya yang
dahulu dikenal sebagai “kampong idiot” kini menjadi kampung yang penuh
semangat dan keceriaan.
Desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kaupaten Ponorogo, Jawa Timur,
sebagai tempat tinggalnya itu sempat dicap sebagai “kampung idiot”
karena banyak warga berkebutuhan khusus yang ada di desa itu.
Pemuda lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu berhasil mengajak para pengidap down syndrome (keterbelakangan mental) menjadi mandiri.
Melalui inisiatifnya, ia mampu memberdayakan sekitar 98 penderita tunagrahita yang ada di desanya dengan mengajarkan hidup mandiri. Mandiri dalam arti mengurangi ketergantungan diri pada orang lain maupun lingkungannya. Sebuah impian yang sempat mendapat cemoohan dari sebagian masyarakat.
Pemuda lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu berhasil mengajak para pengidap down syndrome (keterbelakangan mental) menjadi mandiri.
Melalui inisiatifnya, ia mampu memberdayakan sekitar 98 penderita tunagrahita yang ada di desanya dengan mengajarkan hidup mandiri. Mandiri dalam arti mengurangi ketergantungan diri pada orang lain maupun lingkungannya. Sebuah impian yang sempat mendapat cemoohan dari sebagian masyarakat.
Dengan keteguhan dan dukungan warga lainnya, Eko berhasil membuat
mandiri para penyandang gangguan intelektual itu melalui medium
budidaya ikan lele. Konsep itu diaktualisasikan melalui kolam ukuran 1 x
2 meter yang dibangun di setiap rumah warga penyandang tunagrahita.
Warga penyandang tunagrahita memiliki sekaligus bertugas
mengelola kolam yang berisikan 1.000 ekor bibit lele itu, mulai dari
memberi pakan, membersihkan kolam, hingga penggantian air kolam.
Dari setiap kolam itu rata-rata dapat menghasilkan laba Rp 150.000 hingga Rp 250.000 setiap kali panen yang dilakukan tiga bulan sekali.
Dari uang hasil usaha budidaya ikan itu, kini para penyandang defisit kognitif dapat membantu menghidupi diri sendiri. Uang hasil panen lele mereka tukarkan dengan pelbagai macam kebutuhan pokok untuk pemenuhan kebutuhan hariannya.
Sebelumnya, para penyandang tunagrahita di desa itu seperti kaum yang terpinggirkan. Mereka selama ini hanya dipandang sebelah mata karena kondisinya serta ketidakproduktifannya. Mereka seakan menjadi beban yang memperberat kemiskinan yang melanda desa itu.
Dengan model pemberdayaan yang dilakukan bapak satu anak ini, kini para penyandang tunagrahita semakin mendapatkan tempat dan lebih dihargai. Sementara masyarakat secara umum juga mendapatkan manfaatnya.
Tergerak karena kondisiPerjuangan putra sulung dari empat bersaudara pasangan Maijo dan Lasmi ini berawal dari kegelisahannya terhadap kondisi kampungnya yang penuh dengan keterbatasan. Desa tempatnya tumbuh berkembang itu terletak di kaki tiga gunung sekaligus, yaitu Gunung Bangkong, Gunung Kukusan, serta Gunung Rajeg Wesi. Desa itu juga dekat dengan perbatasan wilayah Kabupaten Pacitan.
Lokasi desa cukup jauh dari pusat Kota Ponorogo, yang berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat kota. Kondisi tanahnya tandus karena berada di kawasan pegunungan kapur dan diperparah dengan kurangnya air. Kondisi ini membuat masyarakatnya hidup dalam keprihatinan.
Data yang dihimpun, di desa itu terdapat 290 kepala keluarga (KK) yang hidup di bawah garis kemiskinan, 561 KK yang hampir miskin, serta 48 KK yang mempunyai anggota keluarga penyandang tunagrahita. Jumlah penyandang tunagrahita mencapai 98 orang.
Mayoritas warga berkebutuhan khusus ini masih berusia produktif, pada kisaran usia 40 tahun. Hanya empat di antaranya yang berusia anak-anak.
Di dataran yang lebih tinggi, masyarakatnya mencukupi kebutuhan keseharian dengan bercocok tanam seadanya. Karena kondisi itu, nasi menjadi barang mewah. Lebih sering mereka memanfaatkan gaplek atau singkong yang dijemur kering sebagai makanan utamanya.
Eko semakin mempunyai keinginan keras dalam berjuang mengubah keadaan karena merasa pemerintah waktu itu tidak ada perhatian sama sekali. Padahal, kondisi kampungnya telah terjadi sekian lama.
Pergolakannya mulai terjadi saat usianya remaja. Ia mulai bergerak dengan mengabdikan diri pada organisasi karang taruna yang ada di desanya. Pada saat yang bersamaan, ia juga menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di pusat kota berjuluk "Kota Reog" ini.
Dasar-dasar pergerakan yang ia dapatkan selama berkecimpung dalam organisasi pergerakan mahasiswa itu turut menjadi bekal dalam menjalankan organisasi karang taruna di desanya. Melalui gebrakan-gebrakannya, ia menjadi panutan bagi pemuda seusianya.
"Karena kondisi yang miskin, dulu kalau musim kurban, kami sering mengupayakan adanya daging kurban dari luar daerah yang kami datangkan ke sini," kata Eko saat ditemui Kompas.com di rumahnya, pekan ini.
Dengan statusnya sebagai mahasiswa itu, ia mulai menggunakan jaringannya untuk memulai gerakan perubahan di desanya. Tak jarang ia mengajak serta para donatur potensial untuk ikut mengunjungi desanya. Tujuannya agar para donatur mengetahui pasti kondisinya.
Pada 2010, perjuangannya itu mulai mendapat hasil. Beberapa donatur mulai memberikan bantuannya, di antaranya dari Bank Indonesia Kediri yang memberikan bantuan awal sebesar Rp 3 juta dan ditambah lagi Rp 25 juta. Bantuan itu ia gunakan sebagai modal pengembangan budidaya lele.
Dengan modal bantuan yang ada, ia bersama Kelompok Masyarakat (Pokmas) desanya membangun kolam besar seluas 4 x 16 meter yang mampu menampung 24.000 ekor bibit lele. Dalam jangka waktu tiga bulan kemudian, kolam itu menghasilkan untung Rp 3.000.000.
Keuntungan itu, ditambah dengan beberapa bantuan lain yang masuk, diinvestasikan lagi untuk membangun dua kolam besar seluas 5,5 x 24 meter persegi dengan kapasitas masing-masing 48.000 bibit lele. Kolam ini sekaligus sebagai kolam “pembelajaran” bagi beberapa penyandang tunagrahita.
“Tentu mereka mempunyai pendamping yang bertugas mengawasi dan membina saudara kami yang berkebutuhan khusus. Saat ini ada empat pendamping,” imbuh Eko.
Setelah dua tahun berlalu, usaha budidaya lele mereka semakin sukses. Para penyandang tunagrahita yang “magang” itu kemudian dibuatkan kolam kecil yang dibangun di rumah masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, saat ini sudah ada sebanyak 57 kolam yang tersebar di setiap rumah yang terdapat pengidap defisiensi mental itu. Selain itu, ada 48 kolam yang disediakan untuk masyarakat umum yang tertarik dalam bidang ini.
“Karena sejak awal tujuan kita adalah pemberdayaan masyarakat, cakupan kami perluas kepada masyarakat umum,” imbuhnya.
Dari setiap kolam itu rata-rata dapat menghasilkan laba Rp 150.000 hingga Rp 250.000 setiap kali panen yang dilakukan tiga bulan sekali.
Dari uang hasil usaha budidaya ikan itu, kini para penyandang defisit kognitif dapat membantu menghidupi diri sendiri. Uang hasil panen lele mereka tukarkan dengan pelbagai macam kebutuhan pokok untuk pemenuhan kebutuhan hariannya.
Sebelumnya, para penyandang tunagrahita di desa itu seperti kaum yang terpinggirkan. Mereka selama ini hanya dipandang sebelah mata karena kondisinya serta ketidakproduktifannya. Mereka seakan menjadi beban yang memperberat kemiskinan yang melanda desa itu.
Dengan model pemberdayaan yang dilakukan bapak satu anak ini, kini para penyandang tunagrahita semakin mendapatkan tempat dan lebih dihargai. Sementara masyarakat secara umum juga mendapatkan manfaatnya.
Tergerak karena kondisiPerjuangan putra sulung dari empat bersaudara pasangan Maijo dan Lasmi ini berawal dari kegelisahannya terhadap kondisi kampungnya yang penuh dengan keterbatasan. Desa tempatnya tumbuh berkembang itu terletak di kaki tiga gunung sekaligus, yaitu Gunung Bangkong, Gunung Kukusan, serta Gunung Rajeg Wesi. Desa itu juga dekat dengan perbatasan wilayah Kabupaten Pacitan.
Lokasi desa cukup jauh dari pusat Kota Ponorogo, yang berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat kota. Kondisi tanahnya tandus karena berada di kawasan pegunungan kapur dan diperparah dengan kurangnya air. Kondisi ini membuat masyarakatnya hidup dalam keprihatinan.
Data yang dihimpun, di desa itu terdapat 290 kepala keluarga (KK) yang hidup di bawah garis kemiskinan, 561 KK yang hampir miskin, serta 48 KK yang mempunyai anggota keluarga penyandang tunagrahita. Jumlah penyandang tunagrahita mencapai 98 orang.
Mayoritas warga berkebutuhan khusus ini masih berusia produktif, pada kisaran usia 40 tahun. Hanya empat di antaranya yang berusia anak-anak.
Di dataran yang lebih tinggi, masyarakatnya mencukupi kebutuhan keseharian dengan bercocok tanam seadanya. Karena kondisi itu, nasi menjadi barang mewah. Lebih sering mereka memanfaatkan gaplek atau singkong yang dijemur kering sebagai makanan utamanya.
Eko semakin mempunyai keinginan keras dalam berjuang mengubah keadaan karena merasa pemerintah waktu itu tidak ada perhatian sama sekali. Padahal, kondisi kampungnya telah terjadi sekian lama.
Pergolakannya mulai terjadi saat usianya remaja. Ia mulai bergerak dengan mengabdikan diri pada organisasi karang taruna yang ada di desanya. Pada saat yang bersamaan, ia juga menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di pusat kota berjuluk "Kota Reog" ini.
Dasar-dasar pergerakan yang ia dapatkan selama berkecimpung dalam organisasi pergerakan mahasiswa itu turut menjadi bekal dalam menjalankan organisasi karang taruna di desanya. Melalui gebrakan-gebrakannya, ia menjadi panutan bagi pemuda seusianya.
"Karena kondisi yang miskin, dulu kalau musim kurban, kami sering mengupayakan adanya daging kurban dari luar daerah yang kami datangkan ke sini," kata Eko saat ditemui Kompas.com di rumahnya, pekan ini.
Dengan statusnya sebagai mahasiswa itu, ia mulai menggunakan jaringannya untuk memulai gerakan perubahan di desanya. Tak jarang ia mengajak serta para donatur potensial untuk ikut mengunjungi desanya. Tujuannya agar para donatur mengetahui pasti kondisinya.
Pada 2010, perjuangannya itu mulai mendapat hasil. Beberapa donatur mulai memberikan bantuannya, di antaranya dari Bank Indonesia Kediri yang memberikan bantuan awal sebesar Rp 3 juta dan ditambah lagi Rp 25 juta. Bantuan itu ia gunakan sebagai modal pengembangan budidaya lele.
Dengan modal bantuan yang ada, ia bersama Kelompok Masyarakat (Pokmas) desanya membangun kolam besar seluas 4 x 16 meter yang mampu menampung 24.000 ekor bibit lele. Dalam jangka waktu tiga bulan kemudian, kolam itu menghasilkan untung Rp 3.000.000.
Keuntungan itu, ditambah dengan beberapa bantuan lain yang masuk, diinvestasikan lagi untuk membangun dua kolam besar seluas 5,5 x 24 meter persegi dengan kapasitas masing-masing 48.000 bibit lele. Kolam ini sekaligus sebagai kolam “pembelajaran” bagi beberapa penyandang tunagrahita.
“Tentu mereka mempunyai pendamping yang bertugas mengawasi dan membina saudara kami yang berkebutuhan khusus. Saat ini ada empat pendamping,” imbuh Eko.
Setelah dua tahun berlalu, usaha budidaya lele mereka semakin sukses. Para penyandang tunagrahita yang “magang” itu kemudian dibuatkan kolam kecil yang dibangun di rumah masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, saat ini sudah ada sebanyak 57 kolam yang tersebar di setiap rumah yang terdapat pengidap defisiensi mental itu. Selain itu, ada 48 kolam yang disediakan untuk masyarakat umum yang tertarik dalam bidang ini.
“Karena sejak awal tujuan kita adalah pemberdayaan masyarakat, cakupan kami perluas kepada masyarakat umum,” imbuhnya.
Kendala penghadang
Waktu awal-awal merintis perjuangannya itu bukanlah saat yang
mudah. Cemoohan warga sering ia rasakan. Sikap skeptis itu muncul karena
ide pemberdayaan yang diusung Eko belum sepenuhnya diterima masyarakat.
Membuat mandiri para penyandang keterbelakangan intelektual dianggap sesuatu yang irasional sehingga tidak mungkin terelasiasi. Tidak sedikit pula yang mencurigainya dengan menganggapnya hanya mengambil manfaat.
Persepsi negatif itu akhirnya pudar dengan sendirinya. Eko mampu menjawabnya dengan berbagai macam capaian yang bagus. Masyarakat yang awalnya pesimistis itu akhirnya mendekat untuk bekerja bersama.
Kendala dari sisi penyandang tunagrahita sendiri juga cukup sulit. Tantangannya adalah mengajari para penyandang keterbelakangan mental melakukan pekerjaan orang normal. Transfer pengetahuan menjadi tersendat karena tidak adanya bahasa komunikasi baku maupun kendala kemampuan kognitif mereka.
Pembelajaran dilakukan dengan memberikan contoh langsung dengan durasi belajar yang cukup lama. Upaya itu kemudian mendapatkan hasil.
Membuat mandiri para penyandang keterbelakangan intelektual dianggap sesuatu yang irasional sehingga tidak mungkin terelasiasi. Tidak sedikit pula yang mencurigainya dengan menganggapnya hanya mengambil manfaat.
Persepsi negatif itu akhirnya pudar dengan sendirinya. Eko mampu menjawabnya dengan berbagai macam capaian yang bagus. Masyarakat yang awalnya pesimistis itu akhirnya mendekat untuk bekerja bersama.
Kendala dari sisi penyandang tunagrahita sendiri juga cukup sulit. Tantangannya adalah mengajari para penyandang keterbelakangan mental melakukan pekerjaan orang normal. Transfer pengetahuan menjadi tersendat karena tidak adanya bahasa komunikasi baku maupun kendala kemampuan kognitif mereka.
Pembelajaran dilakukan dengan memberikan contoh langsung dengan durasi belajar yang cukup lama. Upaya itu kemudian mendapatkan hasil.
“Akhirnya mereka bisa, meski kadang-kadang juga ikannya diambil dan digoreng sendiri,” Eko menuturkan pengalamannya.
Selain itu, ada kendala alam. Dataran tinggi menyebabkan
terjadinya keterbatasan air. Selain untuk pemenuhan kebutuhan harian,
mereka juga membutuhkan air untuk mengisi kolam mereka. Akhirnya masalah
air dapat diatasi setelah cara pipanisasi.
Budidaya lele itu sendiri bukanlah suatu hal yang mudah. Lele
dikenal dengan mudahnya terserang penyakit, perawatan yang sulit, maupun
sifat kanibalismenya. Tantangan itu dapat diatasi dengan adanya
pelatihan-pelatihan dan pola pendampingan yang ketat.
Budidaya lele mereka pilih setelah mencoba beragam pekerjaan dan
tidak menemukan kecocokan. Beberapa usaha yang pernah mereka tekuni
adalah pembuatan anyaman bambu, pemecah batu, serta beragam usaha
lainnya.
Progres kegiatan
Cakupan pemberdayaan ala Eko ini terus diperluas agar dapat menyentuh segala lapisan masyarakat. Saat ini mulai ada diversifikasi dengan dirintisnya ternak ayam potong, usaha pencetakan batu bata, peternakan kambing, serta produk-produk olahan yang dapat dimanfaatkan dari hasil peternakan itu.
Dengan pencapaiannya itu pula, Eko merasa tertantang untuk lebih mengembangkannya dalam bentuk kegiatan pemberdayaan lainnya. Ia menceritakan, keinginannya yang belum terlaksana adalah terbentuknya Koperasi Miskin yang berfungsi sebagai penopang perekonomian bagi warga.
Selain itu, ia bermimpi untuk membangun sebuah pusat perdagangan tradisional yang ada di desa itu dalam bentuk pasar desa. Baik para pedagang maupun pengurusnya akan diupayakan berasal dari warga desa itu sendiri. Pasar desa ini diharapkan menjadi cara memutar perekonomian warga.
“Saya sudah berhitung sedikitnya butuh 15 orang pedagang dengan jenis dagangannya masing-masing sehingga warga tidak perlu lagi berbelanja seperti saat sebelumnya, jauh,” kata pemuda yang baru saja ditasbihkan warga sebagai kepala desa ini.
Progres kegiatan
Cakupan pemberdayaan ala Eko ini terus diperluas agar dapat menyentuh segala lapisan masyarakat. Saat ini mulai ada diversifikasi dengan dirintisnya ternak ayam potong, usaha pencetakan batu bata, peternakan kambing, serta produk-produk olahan yang dapat dimanfaatkan dari hasil peternakan itu.
Dengan pencapaiannya itu pula, Eko merasa tertantang untuk lebih mengembangkannya dalam bentuk kegiatan pemberdayaan lainnya. Ia menceritakan, keinginannya yang belum terlaksana adalah terbentuknya Koperasi Miskin yang berfungsi sebagai penopang perekonomian bagi warga.
Selain itu, ia bermimpi untuk membangun sebuah pusat perdagangan tradisional yang ada di desa itu dalam bentuk pasar desa. Baik para pedagang maupun pengurusnya akan diupayakan berasal dari warga desa itu sendiri. Pasar desa ini diharapkan menjadi cara memutar perekonomian warga.
“Saya sudah berhitung sedikitnya butuh 15 orang pedagang dengan jenis dagangannya masing-masing sehingga warga tidak perlu lagi berbelanja seperti saat sebelumnya, jauh,” kata pemuda yang baru saja ditasbihkan warga sebagai kepala desa ini.
Konsep kegiatannya
Kunci sukses ayah dari Victoria Exana Bintang Leorenza ini berada pada kecerdikannya mengantisipasi kemungkinan terburuk. Eko menyadari bahwa kolam-kolam kecil yang dikelola oleh penyandang tunagrahita tidak akan senantiasa mendapatkan untung, kadang juga merugi.
Kunci sukses ayah dari Victoria Exana Bintang Leorenza ini berada pada kecerdikannya mengantisipasi kemungkinan terburuk. Eko menyadari bahwa kolam-kolam kecil yang dikelola oleh penyandang tunagrahita tidak akan senantiasa mendapatkan untung, kadang juga merugi.
Untuk itu, ia melakukan sistem subsidi modal yang diambilkan dari
kolam besar atau kolam induk. Dalam artian, kolam besar atau kolam
induk itu dijaga sedemikian rupa jangan sampai merugi karena
keberadaannya sebagai penopang kolam-kolam kecil tersebut.
Ke depan, menurutnya, beragam kegiatan yang ada akan didesain
saling terintegrasi secara mutual antara satu usaha dan usaha lainya. Ia
mencontohkan, kotoran ayam ataupun kambing akan menjadi pupuk bagi
rumput yang ditanam untuk kebutuhan pakan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !