Ketika aku tengah sibuk membereskan ruang kantorku dan siap-siap mau
pulang, tiba-tiba Mbak Atik nyelonong masuk. Wajahnya tampak agak keruh
tak seperti biasanya. Tanpa basa-basi ia langsung duduk di sofa di
samping meja kerjaku. Perempuan bertubuh subur ini biasanya penuh canda
kalau sudah kumpul dengan teman-temannya. tapi kali ini, senyumnya tak
sedikit pun nongol. Wah, kok aneh to si mbak ini.
Aku yang semula mau mengajaknya bercanda jadi mengurungkan niat.
Khawatir situasinya tidak pas. Maka masih sambil mengutak-atik kerjaan
di mejaku, dengan hati-hati kusapa mbak Atik. “Ada apa mbakyu, kok
kelihatan sayu?” Aku biasa memanggil temanku yang lebih tua dariku ini
dengan sebutan mbakyu. Kami memang akrab sejak dulu. Dia pun kadang
memanggilku dengan sebutan diajeng. Mbak Atik menghela napas berat
mendengar pertanyaanku. Ia tak segera menyahut.
“Apa Bapakku kemarin ke rumahmu, Jeng?” Tiba-tiba Mbak Atik ganti
bertanya. Weeh…ditanya bukannya menjawab tapi malah balik bertanya. Aku
mengangguk. “Iya Mbak, kenapa? Kemarin sore memang bapak ke rumah.”
Kuamati wajah Mbak Atik. Lagi-lagi ia hanya menghela napas. “Kenapa to
mbakyu, kok kelihatannya ada masalah berat?”
Aku ingat kemarin sore Pakde Kirjo, bapaknya Mbak Atik datang ke rumah.
Hampir setengah tahun Pakde Kirjo tak kulihat, rupanya beliau ikut
anaknya yang pertama, kakaknya Mbak Atik yang tinggal di Solo. Sejak
ditinggal mati istri tercintanya setahun lalu, Pakde Kirjo kelihatan
kesepian. Ia yang biasanya pergi berdua kemana-mana dengan sang istri,
kini tak lagi kelihatan bepergian setelah tinggal sendirian.
Pakde Kirjo juga tidak tinggal serumah dengan Mbak Atik yang sudah
berkeluarga dengan dua anak. Mungkin ia tak mau merepotkan anak
bungsunya yang hidupnya juga pas-pasan. Kedatangannya kemarin sore ke
rumahku agak membuatku kaget. Rupanya Pakde bermaksud meminjam uang
untuk suatu keperluan. Pakde bilang dia ada keperluan agak besar bulan
depan, tanpa menjelaskan apa keperluannya.
Keinginan pakde memang tak langsung kupenuhi kemarin. Kebetulan aku juga
tak pegang uang sebanyak yang pakde butuhkan. Jadi kutangguhkan bulan
depan saja kalau pakde sudah akan menggunakan uang itu. Pakde pun
menyetujuinya, lalu ia pamit pulang.
Kini Mbak Atik mengusut kedatangan pakde kemarin. Ia sepertinya merasa
tak enak ketika mendengar jawabanku. “Bapak kemarin bilang apa jeng
padamu? Apa bapak cerita banyak? Wah, aku malu lho sebenarnya jeng kalau
bapak sampai cerita banyak padamu.” Mendengar pertanyaan Mbak Atik yang
meluncur bagai peluru aku hanya terpana.
“Cerita apa to Mbak? Bapak kemarin gak cerita apa-apa kok.” Akhirnya
kujelaskan padanya bahwa kedatangan bapaknya bukan untuk curhat tapi mau
pinjam uang untuk suatu keperluan yang tak disebutkan. “Aduuh…jadi
bapak mau pinjam uang padamu, Jeng? Berapa besarnya?” Dengan hati-hati
kusebutkan sejumlah angka yang sebetulnya tidak terlalu besar tapi tetap
membuat Mbak Atik kaget. Kukatakan juga bahwa uang itu belum keberikan
karena aku tak pegang uang sebanyak itu.
“Apa Mbak Atik tahu untuk apa uang itu?” Tanyaku kepadanya. Ia
memandangku ragu-ragu dan tak segera menjawab. Dia lirik jam dinding
yang tertempel di atas lemari. “Kamu mau buru-buru pulang tidak Jeng?
Ini sudah hampir jam setengah tiga.” Aku menggeleng sambil tersenyum
karena tahu Mbak Atik mau minta waktuku. Dia khawatir kalau aku jadi
terganggu atau terlambat pulang gara-gara kedatangannya. “Tenaang Mbak,
aku tidak buru-buru kok. Mau cerita apa? Monggo, silakan aku siap
mendengarkan.” Ujarku mencoba mencairkan suasana.
Aku duduk di sebelah Mbak Atik. Kupasang wajah serius dan siap menampung
uneg-unegnya. Hehehe…lagakku kalau sudah begini ini mirip seorang
konselor yang tengah menghadapi klien. “Jeng, Bapak mau kawin lagi,”
setengah berbisik Mbak Atik memulai ceritanya.
“Pakde Kirjo mau menikah, Mbak?” Tanyaku setengah kaget. “Olaala…jadi
itu to maksud pakde kemarin mau pinjam uang. Pantes, pakde tak mau
menjelaskan maksudnya secara terang-terangan. Bisa jadi pakde malu
menyampaikannya. Pikiranku mulai berputar mencoba mengingat kembali
sosok Pakde Kirjo yang sudah sepuh, usianya sudah 73 tahun. Setahun lalu
dia ditinggal Bude Kirjo yang dipanggil Tuhan setelah mengidap kanker
selama tiga tahun.
Kubayangkan sosok lelaki tua yang kesepian. Walaupun ia punya anak dan
cucu, tapi rupanya ia tetap butuh perempuan lain di sampingnya. Mungkin
sekadar teman untuk diajak berbagi cerita, suka maupun duka. Ah, pakde
dalam usia senjanya tetap ingin punya pendamping. Rupanya keinginan
pakde yang mau menikah ini yang membuat Mbak Atik dan kakaknya merasa
berat. Mereka malu, karena baru setahun ibunya meninggal ternyata
bapaknya sudah pengin kawin lagi. Mereka malu untuk menjelaskan pada
anak-anaknya, kenapa eyangnya harus menikah lagi. Kenapa eyangnya juga
tak mau tinggal bersama cucu-cucunya.
Hampir sejam Mbak Atik bercerita panjang lebar padaku. Aku hanya bisa
mengangguk-angguk mencoba memahami perasaannya tanpa banyak komentar.
Sementara di kepalaku juga berkecamuk berbagai pikiran. Cinta? Betapa
satu kata ini menyimpan berjuta rahasia. Ia tak mengenal batas usia. Ia
bisa mampir kapan saja di setiap hati anak manusia. Kalau sudah begini,
terus aku harus bilang apa?****
oleh: Cay Cay (kompasiana)
Minggu, 15 September 2013
Untuk sahabatku
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !