MAMASA, KOMPAS.com — Demi bersekolah atau berbelanja di
Kota Mamasa, Sulawesi Barat, warga Desa Osango terpaksa harus melintas
sebuah jembatan gantung sepanjang 40 meter yang terbuat dari sebilah
bambu dan diikat dengan kawat besi karena tak ada jalan alternatif.
Meski membahayakan keselamatan jiwa, jembatan tersebut tetap dilewati
para siswa dan warga karena tak ada jalan lain.
Jembatan gantung ini menjadi satu-satunya akses penghubungan warga Desa Osango, Kecamatan Mamasa, dengan kota Kabupaten Mamasa yang hanya berjarak beberapa kilometer. Saat hujan deras, jembatan yang dibangun warga secara swadaya ini sudah beberapa kali hanyut terseret banjir.
Warga dan siswa Desa Osango memang harus memakai jembatan itu jika ingin menyeberang sungai, mengingat sungai tersebut cukup dalam, yakni sekitar 3 meter. Jangankan untuk siswa SD yang masih anak-anak, kedalaman sungai tersebut juga berbahaya bagi orang dewasa.
Sepanjang sejarahnya, jembatan gantung ini sudah beberapa kali menelan korban jiwa. Sejumlah warga dan anak sekolah terjatuh ke sungai dan terseret arus lantaran jembatan patah. Untuk bisa menyeberangi jembatan tua ini, warga harus bergantian melintas dari satu arah karena sempit. Selain itu, jembatan ini hanya kuat dilewati tiga orang.
Jembatan gantung ini menjadi satu-satunya akses penghubungan warga Desa Osango, Kecamatan Mamasa, dengan kota Kabupaten Mamasa yang hanya berjarak beberapa kilometer. Saat hujan deras, jembatan yang dibangun warga secara swadaya ini sudah beberapa kali hanyut terseret banjir.
Warga dan siswa Desa Osango memang harus memakai jembatan itu jika ingin menyeberang sungai, mengingat sungai tersebut cukup dalam, yakni sekitar 3 meter. Jangankan untuk siswa SD yang masih anak-anak, kedalaman sungai tersebut juga berbahaya bagi orang dewasa.
Sepanjang sejarahnya, jembatan gantung ini sudah beberapa kali menelan korban jiwa. Sejumlah warga dan anak sekolah terjatuh ke sungai dan terseret arus lantaran jembatan patah. Untuk bisa menyeberangi jembatan tua ini, warga harus bergantian melintas dari satu arah karena sempit. Selain itu, jembatan ini hanya kuat dilewati tiga orang.
Pantauan Kompas.com, Senin (16/9/2013), puluhan siswa SD menyeberang jembatan tersebut demi bisa bersekolah ke Mamasa. Dengan hati-hati dan penuh kecemasan, mereka perlahan-lahan menyeberangi jembatan tersebut. Mereka harus mampu mengalahkan ketakutan demi bisa bersekolah. Dan, hal itu dilakukan setiap hari.
Celakanya, bambu jembatan ini sudah lapuk dan kawat besi pengikatnya sudah tua. Kondisi ini makin membuat siswa waswas. Miranda, salah satu siswa SD di Desa Osango, misalnya. Dia mengaku tiap hari cemas ketika melewati jembatan ini saat pergi ataupun pulang sekolah.
“Saya melintas sambil berpegangan tangan dengan teman-teman lain karena takut jatuh,” ujar Miranda. Dia berharap ada jembatan layak yang bisa dilalui siswa sekolah dengan aman.
Sementara itu, salah seorang warga Desa Osango, Josep, mengaku sudah berkali-kali warga mengadukan kondisi jembatan tersebut ke pemerintah setempat. Namun, keluhan itu belum direspons juga.
“Kita sudah puluhan kali mengadukan masalah ini ke pemerintah, tetapi sampai sekarang tak ada respons. Padahal, korban sudah banyak,” beber Josep yang selalu cemas melepas anaknya pergi ke sekolah.
Josep berharap Pemerintah Kabupaten Mamasa peduli dengan penderitaan warga dan para siswa yang harus menyabung nyawa setiap hari melintas di jembatan ini, terutama saat hujan deras.
Warga berharap Bupati Mamasa terpilih, Ramlan Badawi, yang akan dilantik pada 18 September 2013, bisa mendengar keluhan warga Desa Osango dan membangun jembatan yang layak bagi siswa dan warga untuk akses ke Mamasa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !